Author :
Kaizza24
Main cast :
Kim Taehyung, Eun Ji Na
Rate :
PG-17
OC :
Find it yourself
Genre :
Tragedy/AU/Romance/Hurt/Slight Psycho
Disclaimer :
FF ini murni hasil pikiran author dan sama sekali tidak
mengambil contoh plot yang ada di FF lain.Karya ini jauh dari kata plagiat atau
copy-cat.Hargai karya author dan selamat menikmati.
Don’t be silent reader and give it a lot love.
RnR jusseyo
.
.
.
Raut wajah tampan itu tampak sedih.
“sudah, aku menutupnya dengan perban” Jina tersenyum.
Greb
“aku takut” cicit Taehyung seketika memeluk tubuh Jina.
Gadis itu membulatkan kedua matanya kaget.
Tes
Tes
Tanpa ia sadari, bulir bening itu lolos dari sudut
matanya.Jina benar-benar dapat merasakan betapa tersiksanya batin Taehyung.
Ia mengusap pelan punggung namja itu.
“jangan takut, kau harus berani” hibur Jina sekenanya.
Taehyung menangis pilu.
Hingga isakan-isakan kecil terdengar jelas.
“aku takut” ucap Taehyung lirih.
Jina mengeratkan pelukannya untuk memberikan kekuatan pada
Taehyung.Jemari panjang Taehyung mencengkeram kemeja Jina di bagian
punggungnya.Jina membiarkan namja itu melepaskan semua rasa takutnya, jika itu
bisa membuat Taehyung lebih baik.
“menangislah” pinta Jina lembut.
Gadis berusia 20 tahun itu menunjukkan sisi kematangan
mentalnya.Ia tampak seperti seorang kakak bagi Taehyung yang jelas 3 tahun
lebih tua darinya.Jina menepuk-nepuk pelan pungung jenjang itu dan membuang
nafas berat.
“apa kau sudah membaik?” tanyanya pelan.
Ia merasakan anggukan kecil di pundaknya.
Jina tersenyum.
Taehyung mengendurkan pelukannya dan menatap wajah Jina
dalam-dalam.Manik tajam itu kali ini memandang begitu dalam.Ada gambaran rasa
sakit dan kehilangan terpapar jelas.
Air mata Taehyung menetes pelan.
“jangan merasa takut lagi, aku selalu ada disini” Jina
mengusap airmata itu dengan jarinya.
Tak ada perubahan raut wajah pada Taehyung.Namun Jina merasa
lega karena sedikit demi sedikit namja itu mau berinteraksi.
.
.
Disisi lain, Jina, merasa sangat bersalah pada kedua
orangtuanya.Ia tak tahu harus mengatakan apa jika mereka tahu putrinya tinggal
bersama laki-laki yang sakit mental.Tenggorokannya tercekat ketika mengingat
malam itu bertemu dengan Jimin.Dan tanpa sepatah kalimat, ia meninggalkan Jimin
karena memilih Taehyung.Jina mengutamakan Taehyung karena apa yang sudah ia
tandatangani seminggu yang lalu.Surat perjanjian dirinya dengan orangtua
Taehyung yang saat ini berada di Amerika.
Ia memijat pelipisnya.
Kepalanya terasa berdenyut.
Sret
Ia membuka buku rekening bank miliknya.Deretan angka itu
membuatnya sesak.Ada saat ketika ia ingin sekali mengembalikan uang-uang itu
pada orangtua Taehyung, namun, hati kecilnya sungguh tidak bisa berbohong.Jina
sudah mengucap janji pada dirinya sendiri untuk mengembalikan senyuman Taehyung
seperti sediakala.Ia sangat ingin melihat namja itu sembuh.Dorongan dalam
hatinya terlalu kuat untuk mengurungkan niatnya berkata jujur pada orangtuanya.
Hanya itu yang ia pikirkan.
Gadis itu nampak risau.
“harus kuapakan uang ini?” gumamnya lesu.
Ia melirik Taehyung yang kini sedang terdiam menonton
televisi.
Tubuh Jina merosot ke lantai dan bersandar pada tembok di
belakang Taehyung.
“kenapa aku harus berada di situasi sesulit ini?”
Kejadian dimana ia mengejar Taehyung yang ingin bunuh diri
itu sudah membuatnya jantungan.Mungkin saja jika mentalnya tak tahan, Jina bisa
mati berdiri.Hidup bersama dengan seorang yang seperti Taehyung.
Ia harus siap jika sewaktu-waktu namja itu bersikap aneh.
Tok
Tok
Tok
Pintu apartemen itu diketuk seseorang.Ketukan teratur itu
membuyarkan lamunannya.
Jina berniat ingin membukakan, namun Taehyung sudah lebih
dulu sampai di depan pintu.
Cklek
“selamat pagi Kim Taehyung-ssi” sapa kedua perawat itu
ramah.
Taehyung hanya mengangguk kecil lalu melangkah ke ruang
tengah.Ia duduk disana dan menatap Jina.
“ah silakan masuk” Jina mempersilakan kedua perawat itu
untuk duduk di sofa.
Kedua perawat itu memang ditugaskan memantau perkembangan
Taehyung.Seperti berobat jalan, dokter psikologi menyarankan agar Taehyung
dirawat di rumah agar lebih leluasa.Suasana yang nyaman juga mempengaruhi
kesembuhan pasien.
“Taehyung-ssi, apakah anda merasa baik?” tanya salah seorang
perawat ber name tag Go Su Hyeon.
Taehyung hanya menatapnya tajam.Dengan kata lain, ia tidak
ingin menjawabnya.
Perawat itu tersenyum kecil dan mengeluarkan beberapa botol
kecil berisi obat.
Jina duduk di dekat Taehyung sambil mendengarkan penjelasan
perawat itu bagaimana memberikan dosis obat untuk Taehyung.
“aku mengerti” Jina mengangguk paham.
"dokter Min memberikan jadwal konsultasi ini untuk
anda" perawat itu memberikan selembar amplop ukuran sedang.
Jina menerimanya dengan hati-hati.
Sret
"ahh iya iya, aku mengerti suster, terima kasih "
ucap Jina sedikit membungkukkan kepalanya.
Sementara Taehyung hanya diam mematut percakapan antara
perawat itu dengan Jina.Ia hanya melihat saja tanpa menunjukkan reaksi apapun.
"kalau begitu, bisakah kita melakukan pemeriksaan
dahulu, untuk mengetahui kondisi fisik tuan Kim?" perawat itu berkata
hati-hati.
Jina menatap Taehyung.
"s..silakan suster, kamar tuan Kim di sebelah
sini" Jina mempersilakan salah satu perawat itu untuk memeriksa Taehyung.
Namja bersurai lembut itu hanya diam dan mengikuti kemana
Jina pergi.Sampai di dalam kamar miliknya, Taehyung duduk ditepian ranjang dan
menunggu instruksi apa yang akan diberikan perawat itu.
"saya akan memeriksa tekanan darah anda tuan Kim"
ucap perawat Su Hyeon sembari mengeluarkan tensimeter.
Jina melihat raut wajah Taehyung.
Tak ada yang perlu di khawatirkan untuk saat ini.Ia
melangkah keluar dari kamar namja yang sudah membuatnya selalu dalam kondisi
waspada itu.
"hari ini dia terlihat tenang" gumam Jina menghela
nafas dalam-dalam.
.
.
.
"Min sonsaengnim, apakah itu pertanda buruk atau
baik?" Jina berharap keterangan dari dokter psikologi yang merawat
Taehyung itu adalah kabar baik.
Saat ini Jina memenuhi jadwal konsultasi Taehyung yang
pertama.Namja tampan itu sedang duduk menatap keluar jendela ruang kerja dokter
Min.Seolah malas untuk sekedar menyimak pembicaraan mereka.
Siang itu Jina sedang membahas apa yang sudah terjadi pada
Taehyung selama tiga hari terakhir bersama dokter Min.Jina menceritakan kejadian
dimana Taehyung ingin sekali tidur di dekat pusara Nara, mencoba untuk membunuh
dirinya dan juga perubahan sikapnya yang menjadi sangat tenang ketika kedua
perawat kemarin memeriksa.
"saat ini tuan Kim sedang mencoba membiasakan hidup
bersama anda, karena sebelumnya beliau sangat kesepian dan kekasihnya yang
sudah meninggal tersebut adalah sebuah tiang yang membuatnya berdiri kokoh, dan
sayang sekali kekasihnya itu meninggalkan dia dalam kondisi yang sangat tidak
ia inginkan.Hal itu sangat memukul hatinya, dan ia berpikir bahwa hanya
kekasihnyalah yang memberinya semangat hidup selama ini.Orangtuanya juga
terlalu sibuk hingga seringkali membuatnya hidup sendirian di dalam rumah
sebesar itu.Saya harap anda bisa memahaminya, dan jika menurut pemeriksaan saya
tadi, tuan Kim secara fisik memang sehat namun secara psikologis dia masih
dalam kondisi belum stabil"
Jina membuang nafasnya berat.
Sungguh, ini semua konyol.
Orang-orang diluar sana tidak akan menyangka jika namja yang
berusia 23 tahun itu sedang sakit mental.Dia tampan dan juga kaya raya.
"namun ada sedikit berita baik"
Jina membulatkan kedua matanya.Walaupun mungkin ini masih
sangat awal untuk membahas kesembuhan Taehyung, gadis itu berharap banyak.
"apa itu Min sonsaengnim, katakan padaku" Taehyung
melirik Jina lalu mengalihkan perhatiannya pada pemandangan dilluar.
"perlu anda ketahui bahwa tuan Kim saat ini mulai dapat
menerima kehadiran orang lain, dan dia mulai merasa nyaman"
Jina mengingat bagaimana sosok Taehyung itu mengatakan
'takut' padanya ketika ia memecahkan botol parfum dan juga melukai tangannya.
"Jina-ssi?, apa ada yang salah?"
Jina menggeleng cepat.
.
.
drrrrt ddrrrt drrrrt
Taehyung mengamati ponsel Jina yang sedari tadi bergetar
karena ada panggilan masuk.Namja pemilik mata tajam itu melirik Jina yang
tengah tertidur di sofa.Perlahan ia pun memungut ponsel itu dan menggeser
tombol hijau.
Taehyung menempelkan benda itu di telinga kanannya.
"halo, Jina-ah?
ini ayah"
Taehyung hanya diam mendengarkan.
Sekali lagi ia melirik Jina.
"Jina-ah kenapa
kau diam saja?, jawab ayah !"
Taehyung agak menjauhkan benda itu karena suara ayah Jina
terlalu keras.
"halo"
"siapa kau?
dimana anakku Jina?"
"aku Kim Taehyung, dan Jina sedang tidur disitu"
jawabnya lugu sambil menunjuk sofa panjang di depannya.
"apa kau
bilang?? Jina tidur di tempatmu begitu !!??"
Kali ini tuan Eun benar-benar emosi mendengar putrinya
sedang tidur di tempat bersama laki-laki yang tidak pernah dikenalnya.
"iya"
Tut tut tut
Panggilan itu terputus sepihak.Mata Taehyung mengerjap
beberapa kali dan meletakkan ponsel Jina di meja.
"ayah?" gumamnya lirih.
.
.
Kebun Stroberi--- Park Jimin sedang duduk sambil melamunkan sesuatu yang
begitu dalam.Kedua manik sayu itu tak lepas dari sebuah foto yang tersemat
dalam kantung dompetnya.
Foto ketika ia mencium pipi Jina.Beberapa bulan lalu, ia
bersama Jina mengambil foto itu menggunakan ponsel temuan Jina.Yang harus ia
akui sang pemilik ponsel itu adalah Kim Taehyung.
Waktu itu ia sempat meminta foto itu untuk ia simpan.
Air wajahnya begitu lesu.
"kenyataannya kau memilih laki-laki sakit jiwa itu
dibanding melihatku" gumamnya lirih.
Entah mengapa hatinya begitu sakit ketika mengingat kejadian
di malam Jina bersama Taehyung pergi ke pemakaman.Ia jelas melihat bahwa Jina
lebih mengkhawatirkan namja itu dan meninggalkannya tanpa sepatah kata.
Jimin sangat cemburu.
"aku harus bagaimana?"
Sedikit rasa menyesal mulai muncul dalam benak
Jimin.Terlebih untuk tindakannya yang merahasiakan pekerjaan Jina di depan
orangtuanya.Jimin masih ingat, waktu itu ia tiba-tiba berubah pikiran dan ingin
sekali melindungi Jina, gadis yang sangat disukainya.
Tap.
"Jimin-ah"
Kedua mata sipitnya memicing ketika mendongak melihat
seseorang menyapanya.
Ayah Jina.
Dengan wajah yang tegang itu membuat Jimin bertanya-tanya.
"paman, kenapa paman terlihat kesal?" tanyanya
cepat.
Dimasukkannya dompet itu kedalam saku celana.
"Aku ingin bicara denganmu"
Jimin menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
Firasat kurang baik menerpa pikirannya.
.
.
"halo, Jimin-ah?" Jina menjawab panggilan dari
Jimin dengan ragu-ragu.
Rasa takut mulai merayapinya.
Bagaimana tidak? Jimin menghubunginya dan ingin bertemu
secepatnya.Sepertinya sesuatu telah terjadi.
"ada apa Jimin-ah?"
"kita harus bicara sekarang juga noona, atau sesuatu
yang lebih buruk bisa saja terjadi" kalimat Jimin terdengar seperti sebuah
ancaman bagi Jina.
Gadis itu menelan ludahnya kasar.
"bb..baiklah"
.
.
Taehyung sedang tertidur pulas saat Jina berjingkat melewati
kamarnya.Ia tak ingin namja itu terbangun dan menahannya untuk menemui Jimin.
"semoga dia tidur nyenyak" gumamnya pelan.
Gadis bermata bulat itu mendekap baju hangatnya dan terus
berjingkat sampai di depan pintu apartemen.Ia menarik nafas dalam.
"hidupku menjadi serba sulit" gerutunya.
"Taehyung-ah, aku pergi sebentar saja ne" bisiknya
pada pintu apartemen.
.
.
Di sebuah kedai yang menjual teh dan aneka makanan kecil
itu, Park Jimin sudah menunggu Jina selama 30 menit.Ia melirik lagi jam tangan
miliknya.
"kenapa dia lama sekali" ucapnya.
Beberapa saat kemudian, tampak seorang gadis berpakaian
hangat warna abu-abu itu membuka handle
pintu kafe.Mata sipit Jimin sedikit membulat lucu, tak dapat dipungkiri bahwa
ia sangat senang melihat Jina.
Dengan rambut terurai dan syal warna kehijauan itu.
Jimin menyunggingkan senyum kecilnya.
"ohh kau sudah lama menunggu ..ku?" Jina menekuk
tubuhnya dan berusaha mengatur deru nafasnya karena berlari.
Jimin menyuruhnya duduk.
Walaupun pertemuannya dengan Jimin terasa canggung.Jina
berharap apa yang ingin disampaikan namja yang lebih muda darinya itu adalah
sesuatu yang baik.
Ia sudah rindu pada ayah dan ibunya.
Dan ia belum bisa mengutarakan semuanya pada mereka.
Karena tanggung jawabnya pada Taehyung.
"apa kau hidup dengan baik noona?, wajahmu sedikit
kurus" sindir Jimin.
Jina hanya tersenyum kecil menanggapinya.
"maafkan aku Jimin-ah"
"untuk apa kau meminta maaf?"
"untuk malam itu, aku berada pada situasi yang sangat
sulit, jadi kumohon kau bisa memahaminya" ucap Jina pelan.
Ia juga takut sudah melukai perasaan Jimin pada malam itu.
"sudahlah jangan membahas itu lagi, aku disini ingin
menyampaikan sesuatu yang sangat penting"
Jina menajamkan pendengarannya.
"apakah ayah mengucapkan sesuatu padamu?"
"kenapa noona terlihat ketakutan?"
Sekali lagi Jimin berhasil menyinggung Jina.
"hmmm aku memang takut" jawabnya enteng.
"paman menemuiku kemarin, dan beliau sempat menelponmu
dan mungkin saja paman bisa salah paham karena yang menjawab telepon adalah
seorang namja"
deg
deg
"nn..namja?" Jina memekik kaget.
'oh Tuhann, pasti itu
Taehyung' batinnya panik.
"kurasa paman marah karena kau pergi untuk bekerja di
kota, tapi ternyata kau malah hidup bersama laki-laki yang ... hm..sakit
jiwa?"
Hati Jina mencelos hebat.
Ia sakit hati ketika Jimin mengatakan hal itu.Tidak ada yang
salah dengan perkataan Jimin, namun entah mengapa kata terakhir itu begitu
menusuk hatinya.
"untuk apa kau membuang hidupmu dan membahayakan
nyawamu dengan memilih hidup bersama dia?"
tes
tes
Jina tidak tahan.
Ia memilih meneteskan airmatanya sebagai bentuk pelampiasan
kekacauan dalam hatinya saat ini.
Ia juga merasakan ada keanehan dalam diri Jimin.Sejak kecil,
Jimin tidak pernah berkata kasar ataupun menyindir.Dan hari ini, Jina sudah
mendengar sendiri bagaimana keponakannya itu melukai perasaannya.
"aku tidak tahu" gumamnya.
Jimin meraih jemari Jina.
Kulit tangan Jina terasa sangat dingin.
"noona, apa kau menangis?" Jimin menyadari bahwa
perkataannya sudah menyinggung.Namun apalagi yang harus ia katakan?
drrt drrrt drrt
Ponsel Jina bergetar.
Ia melirik nama yang tertera pada layar ponselnya.
Kim Taehyung.
"apa itu dia?" Jimin menatap nama Taehyung tidak
suka.
Jina mengangguk pelan.Ia menyeka airmatanya cepat.
"halo?"
"kau ini
kemana?, aku mau makan sarapanku"
"baiklah, aku akan segera kesana, tunggu sebentar
ne"
Jina menutup panggilan singkat itu.
"paman hanya ingin kau baik-baik saja noona, tolonglah
buat dia percaya bahwa kau sedang bekerja, dan bilang saja itu temanmu.Aku
tidak tega melihat mereka khawatir setiap hari" Jimin menahan lengan Jina
saat gadis itu beranjak pergi.
"aku mengerti" jawabnya lirih.
"jangan lupa menelepon paman" teriak Jimin saat
Jina membuka pintu keluar kafe.
Ditatapnya wajah Jimin yang cemas dan tampak tidak tenang.
'maafkan aku
Jimin-ah' batinnya sedih.
.
Apartemen---Jina menggeser pintu kamar Taehyung yang tidak terkunci.Ia
mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan, namun tak dijumpainya sosok tampan
itu.
"Taehyung-ah?"
Tak ada sahutan.
Jina mulai cemas dan berlari kedalam untuk mencari namja
itu, ia takut Taehyung melakukan hal yang bodoh lagi.Luka pada lengannya juga
masih belum sepenuhnya sembuh.
"Taehyung-ah...dimana kau?"
Gadis itu mulai berteriak panik.
Sampai ia memasuki ruangan.Ia berhenti berteriak.
Kim Taehyung sedang mematut wajahnya di depan cermin besar.
Jina dapat menyaksikan betapa sempurnanya garis wajah milik
Taehyung, mata yang tajam, hidung yang bangir dan bibir kissable itu.Semuanya sempurna, hanya saja sosok tampan itu sedang
sakit.
"Taehyung-ah?, kau sedang apa?"
Jina mendekati Taehyung.
"apa aku memang seperti ini?" jari telunjuk
Taehyung menyentuh pantulan bayangannya di cermin.
Jina tersenyum kecil.
"kau memang seperti itu, ada yang salah?"
Taehyung menunduk.Ia meremas sebuah foto berukuran
sedang.Ujungnya tampak sobek seperti dilepas paksa dari piguranya.
"aku tidak sama" ucapnya sedih.
Jina memegang tangan Taehyung yang menggenggam foto itu.
Diambilnya perlahan.
"foto apa ini?" Taehyung hanya menatapnya tajam.
Sebuah potret sosok Taehyung berdiri bersama ayahnya.Dalam
foto itu, namja di depan Jina itu sedang mengulas senyum lucu dan mencetak eye smile yang indah.Dan sosok tegap
yang merangkul Taehyung, juga tersenyum gembira.
Jina mengerti maksud Taehyung.
"Taehyung-ah, didalam cermin itu, itu adalah dirimu dan
juga dalam foto ini.Kalian berdua adalah orang yang sama, dan juga senyuman
itu.Itu adalah milikmu"
Taehyung menatap Jina dalam-dalam.
"ayah?"
Jina tersentak.Ia menatap wajah Taehyung yang berubah sedih.
Mungkin saat ini ia sangat merindukan ayahnya.
"ahh itu...emm.. ayahmu sedang bekerja keras, dan kau
harus segera sembuh agar dapat bertemu dengannya"
"apa kau tidak berbohong?" Taehyung
mendekat.Diraihnya dagu Jina keatas dan ditatapnya manik cokelat itu lekat-lekat.
"aapp...apa yang kau lakukan??" Jina memekik
takut.
Taehyung tampak bingung lalu tak sengaja menyenggol vas
bunga dan benda itu pecah.
Deg
Deg
Jina mulai panik melihat raut wajah Taehyung yang berubah
lagi.Kali ini manik tajam itu menatap pecahan vas bunga itu dan hendak
memungutnya.
Greb.
"kumohon jangan lagi" cicit Jina menahan lengan
Taehyung.
Namja itu menhempaskan tangan Jina dan berjongkok.Ia
mengamati pecahan vas bunga itu dengan pandangan benci.Ia mulai gemetar dan
rahangnya mengeras.
"Tae..taehyung-ah jangan, kau bisa terluka" ucap
Jina pelan.
Taehyung menggeleng.
"kau berbohong, disana, itu semua adalah kebohongan,
dan aku tidak percaya padamu
Komentar
Posting Komentar